Kamis, 09 Juli 2009

ZIKIR



Dzikir Dan Macam-Macamnya
Allah Ta'ala berfirman :
Hai Orang-orang yang beriman, sebutlah Allah (berdzikirlah) dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. ( Al-Ahzab : 41 ).
Berzikir yang terus-menerus merupakan syarat untuk mendapatkan kecintaan dari Allah yang langgeng pula. Allah yang paling berhak untuk dicintai secara menyeluruh , diibadahi, diagungkan dan dimuliakan.
Pekerjaan yang termasuk paling bermanfaat bagi seorang hamba adalah berzikir yang banyak. Zikir bagi hati itu laksana air bagi ladang pertanian, bahkan seperti air bagi ikan, ia takkan hidup tanpa air.
Zikir itu bermacam-macam :
Berzikir dengan menyebut asma Allah dan sifat-sifat-Nya, serta memujinya dengan menyebut asma dan sifat-Nya.
Tasbih ( mensucikan Allah dengan mengucapkan : Subhanallah ), tahmid ( memuji Allah dengan mengucapkan : Al-hamdu lillah ), takbir ( mengagungkan Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar), Tahlil (mengucapkan la ilaha illallah yang artinya tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah) serta memuliakan Allah. Ini merupakan lafal zikir yang paling banyak diucapkan oelh kalangan orang-orang yang belakangan atau pada dewasa ini.
Berzikir dengan hukum-hukum Allah, perintah-perintah-Nya serta laranganan-larangan-Nya dan ini merupakan zikir ahli ilmu. Bahkan ketiga zikir ini merupakan zikir mereka kepada Rabb-nya.
Berzikir dengan firman-Nya yaitu dengan Al-Qur'an. Ini termasuk zikir yang paling utama. Allah berfirman : Dan barangsiapa yang berpaling dari zikir-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. 20:124)Yang dimaksud dengan zikir-Ku adalah kalam Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu al-Qur'an.Allah berfirman : orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)
Berdzikir dengan berdo'a kepada Allah, beristighfar (mohon ampunan) dan merendahkan diri di hadapan Allah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mengikuti cara berdzikir beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Kelima macam cara berdzikir di atas merupakan cara berdzikir Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Berdzikir kepada Allah harus sesuai dengan yang telah disyari'atkan oleh Allah dan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, bukan bid'ah seperti yang dikerjakan oleh kaum sufi. Mereka berdzikir dengan dzikir yang dibuat-buat dan diada-adakan. Contohnya mereka menyebut : hu… hu… yang menurut mereka lafadz itu termasuk asma Allah. Dzikir semacam ini tidak dibenarkan sama sekali. Begitu juga mengenai bacaan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam harus sesuai dengan yang terdapat dalam sunnah seperti shalawat Ibrahimiyyah ( yang dibaca pada tahiyyat dalam shalat ) dan lainnya yang sesuai dengan sunnah.
( dari buku : kaifa nafhamu al-Qur'an Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, edisi Indonesia hal : 191 )

BEBEN



ISTIGFAR DAN TAUBAT


Istighfar dan Taubat

129- ISTIGFAR DAN TAUBAT

248- قَالَ رَسُوْلُ الله : ((وَاللهِ إِنِّيْ لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً))

248. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah! Sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” [269]

249- وَقَالَ : ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ))

249. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia! Bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” [270]

250- وَقَالَ : ((مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ، غَفَرَ اللهُ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ))

250. Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca: ‘Aku minta ampun kepada Allah, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Hidup dan terus-menerus mengurus makhlukNya.’ Maka Allah mengampuninya. Sekalipun dia pernah lari dari perang.” [271]

251- وَقَالَ : ((أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ اْلآخِرِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْ تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ)).

251. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Keadaan yang paling dekat antara Tuhan dan hambaNya adalah di tengah malam yang terakhir. Apabila kamu mampu tergolong orang yang dzikir kepada Allah pada saat itu, lakukanlah.” [272]

252- وَقَالَ : ((أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ)).

252. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba berada dalam keadaan yang paling dekat dengan Tuhannya adalah di saat sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa.” [273]

253- وَقَالَ : ((إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِيْ وَإِنِّيْ لأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ))

253. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya hatiku lupa (tidak ingat kepada Allah) padahal sesungguhnya aku minta ampun kepadaNya dalam sehari seratus kali.” [274]
[269] HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 11/101.[270] HR. Muslim 4/2076.[271] HR. Abu Dawud 2/85, At-Tirmidzi 5/569, Al-Hakim, dan menurut pendapatnya hadits di atas adalah shahih. Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya 1/511, Al-Albani menyatakan hadits tersebut adalah shahih. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/182, Jami’ul Ushul li ahaditsir Rasul 4/389-390 dengan tahqiq Al-Arnauth.[272] HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i 1/279 dan Al-Hakim, lihat Shahih At-Tirmidzi 3/183, Jami’ul Ushul dengan tahqiq Al-Arnauth 4/144.[273] HR. Muslim 1/350.[274] HR. Muslim 4/2075, Ibnul Atsir berkata: “Maksud Nabi n lupa”, karena beliau senantiasa memperbanyak zikir, selalu mendekatkan diri kepadaNya dan waspada. Jadi, apabila sebagian waktu yang lewat tidak melakukan dzikir, maka beliau menganggapnya dosa. Kemudian beliau cepat-cepat membaca istighfar. Lihat Jami’ul Ushul 4/386.

KETIKA ALLAH MENCINTAI HAMBANYA


Ketika Allah Mencintai Hambanya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : » إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَُّّه « رواه البخاري

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)
Riwayat Singkat Periwayat Hadits
Dia adalah sayyid al-Huffâzh, seorang shahabat yang agung, Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu . Mengenai nama aslinya, demikian pula dengan nama ayahnya banyak sekali pendapat tentang hal itu dan masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun pendapat yang paling rajih/kuat, bahwa namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausiy. Beliau masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar, yakni permulaan tahun 7 H.Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374 hadits”.Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata: “sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat manakala mereka lupa.Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut (menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku, lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut. Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam -red).
PENJELASAN KEBAHASAAN
‎Ungkapan : [Innallâha Ta’âla Qâla: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman] ; ini merupakan salah satu redaksi Hadîts Qudsiy.‎Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..] : terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan meninggalkan perbuatan maksiat.‎Ungkapan : [faqad âdzantuhû bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara memusuhi para wali-Ku.‎Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf taradltuhû ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl (ibadah-ibadah wajib).‎Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhû kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya, meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya. Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara, dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.‎Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahû …: jika dia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi Allah.
BEBERAPA PELAJARAN DAN HUKUM TERKAIT
Melakukan perbuatan-perbuatan ta’at baik yang wajib-wajib maupun yang sunnah-sunnahnya dan menjauhi diri dari semua bentuk maksiat baik yang kecil maupun yang besar akan membuat seorang hamba pantas menjadi salah seorang wali Allah yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, Dia Ta’ala mencintai orang yang dicintai oleh para wali-Nya, mengumumkan perang terhadap orang yang memusuhi, mengganggu, membenci, memojokkan dan menghadang mereka dengan suatu kejahatan atau gangguan. Allah-lah yang akan menolong dan membantu para wali-Nya tersebut.
Wajib menunjukkan sikap loyal terhadap para wali Allah dan mencintai mereka serta haram memusuhi mereka. Demikian pula, wajib memusuhi musuh-musuh-Nya dan haram menunjukkan sikap loyal terhadap mereka. Allah berfirman: “…janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”. (Q.,s. al-Mumtahanah: 1) , Dan firmanNya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 56) Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan orang-orang Kafir.
Hadits diatas juga menunjukkan bahwa para wali Allah ada dua macam: Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidûn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya) sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Orang yang dicintai oleh Allah, maka Dia akan menganugerahinya mahabbah terhadap-Nya, mena’ati-Nya, bergiat dalam berzikir dan beribadah kepada-Nya, menenteramkan hatinya untuk selalu melakukan amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Dengan anugerah itu, maka orang tersebut berhak menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan keberuntungan di sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 54).
Hal yang paling penting dan menjadi tuntutan setiap hamba adalah mendapatkan mahabbah dari-Nya sebab orang yang mendapatkannya maka dia akan mendapatkan dua kebaikan; dunia dan akhirat. Sebagai seorang mukmin sejati yang sangat ingin untuk menjadi salah seorang dari para wali Allah tentu berupaya mendapatkan tuntutan yang amat berharga ini tetapi untuk merealisasikannya diperlukan beberapa hal:
Melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang sudah diwajibkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam penggalan hadits diatas: “Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya”. Yaitu, dengan membetulkan dan meluruskan at-Tauhîd, melaksanakan shalat wajib, zakat wajib, puasa Ramadlan, haji ke Baitullah al-Haram, birr al-Wâlidain (berbakti kepada kedua orangtua), menyambung rahim (silaturrahim), berakhlaq yang mulia seperti jujur, dermawan, bertutur kata yang manis, tawadlu’ dan lain-lainnya.
Menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan, baik kecil maupun besar, dan dari apa saja hal-hal makruh yang sebenarnya mampu dilakukannya.
Bertaqarrub kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah mulai dari shalat, sedekah, puasa, amalan-amalan kebajikan, dzikir, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lainnya. Diantara yang patut disinggung berkenaan dengan ibadah-ibadah tersebut adalah:1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan, mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa. Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras- adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku; jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku; jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)
Bahwa adalah bohong belaka bila ada pengakuan yang menganggap selain cara berbuat keta’atan dan berloyalitas kepada Allah yang disyariatkanNya melalui lisan Rasul-Nya, dapat menyampaikan seseorang kepada mahabbah Allah dan menjadi wali-Nya sepertihalnya orang-orang Musyrik yang menyembah selain Allah dengan anggapan bahwa mereka semata hanya ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan cara tersebut sebagai yang dikisahkan oleh Allah tentang mereka dalam firman-Nya (artinya):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Q.,s.az-Zumar: 3). Demikian pula, sebagai yang diceritakan oleh Allah berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, bahwa mereka berkata dalam firman-Nya (artinya) : "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.,s. al-Mâ-idah: 18) padahal mereka ngotot mendustai para Rasul-Nya, melanggar larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diembankan-Nya kepada mereka. Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.
Setiap Muslim sangat menginginkan agar doanya dikabulkan, amalannya diterima, permintaannya diberi serta mendapatkan perlindungan dari-Nya. Hal ini semua adalah tuntutan yang amat berharga dan anugerah yang agung yang tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang yang menempuh jalan menuju wilâyatullâh, yaitu melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya plus ibadah-ibadah sunnah seoptimal mungkin diiringi dengan niat yang tulus (an-Niyyah al-Khâlishah), mengikuti Nabi serta berjalan diatas manhajnya (al-Mutâba’ah). (Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy)
Doa Sakaratul Maut dan Tertimpa Musibah

52- MENGAJARI ORANG YANG AKAN MENINGGAL DUNIA

153- مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

153. Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah: Laa ilaaha illallaah, akan masuk Surga. [171]
Ketika akan meninggal dunia maka si sakit hendaknya diajarkan kalimat "Laa Ilaaha Illallah".
---------------------------------
[171] HR. Abu Dawud 3/190, dan lihat Shahihul Jami’ 5/432.

53- DOA ORANG YANG TERTIMPA MUSIBAH

154- إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اَللَّهُمَّ أُجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا.

154. “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami akan kembali (di hari Kiamat). Ya Allah! Berilah pahala kepadaku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik (dari musibahku).” [172]
---------------------------------
[172] HR. Muslim 2/632.

DOA KETIKA SAKIT


Doa Untuk Orang Sakit

49- DOA APABILA BERKUNJUNG KEPADA ORANG YANG SAKIT

147- لاَ بَأْسَ طَ.هُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ

147. “Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, insya Allah.” [165]

148- أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ. (7×)

148. “Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, agar menyembuhkan penyakitmu” [166]

[165] HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 10/ 118.[166] “Tidaklah seorang hamba Muslim mengunjungi orang sakit yang belum datang ajalnya, lalu membaca sebanyak tujuh kali: … (Al-Hadits) … kecuali ia pasti disembuhkan, HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 2/210 dan Shahihul Jami’ 5/180.

50- KEUTAMAAN BERKUNJUNG KEPADA ORANG SAKIT

149- قَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ.

149. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang laki-laki berkunjung kepada saudaranya yang muslim, maka seakan-akan dia berjalan di kebun Surga hingga duduk. Apabila sudah duduk, maka dituruni rahmat dengan deras. Apabila berkunjung di pagi hari, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakannya, agar mendapat rahmat hingga sore. Apabila berkunjung di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakannya agar diberi rahmat hingga pagi.” [167]
[167] HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lihat Shahih Ibnu Majah 1/244 dan Shahih At-Tirmidzi 1/286. Ahmad Syakir menyatakan, bahwa hadits tersebut adalah shahih.

51- DOA ORANG SAKIT YANG TIDAK ADA LAGI HARAPAN UNTUK HIDUP TERUS

150- اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَأَلْحِقْنِيْ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى.

150. “Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Maha Tinggi.” [168]

152. “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, bagiNya kerajaan dan bagiNya pujian. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah.” [170]

[168] HR. Al-Bukhari 7/10, Muslim 4/1893.[169] HR. Al-Bukhari 8/144 dengan Fathul Bari dalam hadits terdapat keterangan siwak.[170] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Menurut penda-pat Al-Albani hadits tersebut adalah sahih. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/152 dan Shahih Ibnu Majah 2/317.

DOA DALAM KESULITAN


Doa Orang Yang Kesulitan

DOA ORANG YANG MENGALAMI KESULITAN

139- اَللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً.

139. Ya Allah! Tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Sedang yang susah bisa Engkau jadikan mudah, apabila Engkau menghendakinya.”

HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya no. 2427 (Mawaarid), Ibnus Sunni no. 351. Al-Hafizh berkata: Hadits di atas sahih, dan dinyatakan shahih pula oleh Abdul Qadir Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi, h. 106.

DOA AGAR BEBAS DARI HIMPITAN HUTANG AGAR DIBERI JALAN


Doa Agar Bebas Dari Hutang

41- DOA AGAR BISA MELUNASI UTANG

136- اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

136. “Ya Allah! Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.” [154]

137- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.

137. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.”

[154] HR. At-Tirmidzi 5/560, dan lihat kitab Shahihut Tirmidzi 3/180.[155] HR. Al-Bukhari 7/158.

DOA PENAWAR KESEDIHAN


Doa Penawar Duka dan Kesedihan Yang Mendalam Sebelumnya Main Selanjutnya

--------------------------------------------------------------------------------
34- DOA PENAWAR HATI YANG DUKA

120- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

120. “Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu (Adam) dan anak hamba perempuanMu (Hawa). Ubun-ubunku di tanganMu, keputusan-Mu berlaku padaku, qadhaMu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diriMu, yang Engkau turunkan dalam kitabMu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu atau yang Engkau khususkan untuk diriMu dalam ilmu ghaib di sisiMu, hendaknya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka dan kesedihanku.” [137]


121- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.


121. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [138]

-----------------------------

[137] HR. Ahmad 1/391. Menurut pendapat Al-Albani, hadits tersebut adalah sahih.
[138] HR. Al-Bukhari 7/158. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam senantiasa membaca doa ini, lihat kitab Fathul Baari 11/173.

--------------------------------------------------------------------------------
35- DOA UNTUK KESEDIHAN YANG MENDALAM

122- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ.


122. “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Pengampun. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan yang menguasai arasy, yang Maha Agung. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan yang menguasai langit dan bumi. Tuhan Yang menguasai arasy, lagi Maha Mulia.” [139]


123- اَللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.


123. “Ya Allah! Aku mengharapkan (mendapat) rahmatMu, oleh karena itu, jangan Engkau biarkan diriku sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dariMu). Perbaikilah seluruh urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” [140]


124- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.


124. “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku tergolong orang-orang yang zhalim.” [141]
---------------------------------
[139] HR. Al-Bukhari 7/154, Muslim 4/2092.
[140] HR. Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42. Menurut pendapat Al-Albani, hadits di atas adalah hasan dalam Shahih Abu Dawud 3/959.
[141] HR. At-Tirmidzi 5/529 dan Al-Hakim. Menurut pendapatnya yang disetujui oleh Adz-Dzahabi: Hadits tersebut adalah shahih 1/505, lihat Shahih At-Tirmidzi 3/168.
[142] HR. Abu Dawud 2/87 dan lihat Shahih Ibnu Majah 2/335.

Selasa, 07 Juli 2009

HAJI


Hakikat Haji Yang Mabrur Dan Balasanya

MUKADDIMAH

Haji adalah rukun Islam kelima dan tidak wajib dilaksanakan kecuali terhadap orang yang sudah memenuhi syaratnya, yaitu memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah) sebagaimana firman Allah Ta'ala: "…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…" . (Q.S. ali 'Imran/3: 97).

Berkaitan dengan ayat tersebut, terdapat beberapa poin: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka juga secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai dalil wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya haji bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut.

Mengenai poin terakhir ini, maka kemampuan yang terdapat dalam ayat diatas ada beberapa macam: terkadang seseorang mampu melakukannya dengan dirinya sendiri, terkadang pula mampu melakukannya dengan perantaraan orang lain sebagaimana yang telah menjadi ketetapan di dalam kitab-kitab al-Ahkam (tentang hukum-hukum).

Sedangkan mengenai makna as-Sabiil, terdapat beberapa penafsiran, yaitu:

Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan kendaraan); riwayat dari Ibnu 'Umar, Anas, Ibnu 'Abbas
Memiliki uang sebesar 300 dirham; riwayat lain dari Ibnu 'Abbas
Az-Zaad wa al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain dari Ibnu 'Abbas
Kesehatan jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah
Merujuk kepada penafsiran diatas, setidaknya dapat disimpulkan satu kesamaan, yaitu adanya kemampuan untuk mengadakan perjalanan dalam melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak memiliki persyaratan itu; maka tidak wajib baginya melakukan haji.

Namun, bila melihat fenomena yang ada di masyarakat, nampaknya mereka kurang memahami hal ini sehingga ada sebagian dari mereka yang memaksakan diri untuk melakukan haji meskipun harus menjual semua harta bendanya alias sepulangnya dari haji nanti dia sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

Fenomena lainnya, nampaknya ada semacam kultur di kalangan masyarakat tertentu yang seakan mewajibkan masyarakat tersebut melakukan haji apalagi bila sudah berusia lanjut dan menanamkan kepada mereka yang berusia lanjut tersebut bahwa bila mereka sudah melakukan haji dan meninggal di sana, mereka akan masuk surga. Hal ini menyebabkan banyaknya diantara mereka yang enggan pulang ke tanah air dan dengan segala upaya bertekad akan tinggal dan meninggal disana padahal mereka sudah tidak memilik bekal yang cukup dan akibat ketatnya ketentuan kependudukan di sana, mereka selalu diuber-uber dan terancam dipulangkan secara paksa.

Demikian pula (dan tema inilah yang ingin kami angkat), terdapat pemahaman yang keliru ataupun kejahilan terhadap pengertian dari haji yang mabrur. Sebagian kalangan menganggap bahwa siapa saja yang sudah melaksanakan haji, maka haji yang dilaksanakannya sudah pasti menjadi haji yang mabrur.

Mengingat fenomena yang ada tersebut, maka urgen sekali menjelaskan pengertian apa hakikat haji yang mabrur sekaligus balasan yang akan diterimanya.

Dalam kajian hadits bulanan kali ini, kami akan memaparkan hadits yang berkaitan dengan tema tersebut. Dan secara khusus, kami berharap dapat memberikan gambaran yang benar mengenai pengertian tersebut kepada para calon jema'ah haji yang kebetulan membaca rubrik ini.

Tentunya, dalam pemaparan tersebut terdapat beberapa kesalahan dan kekurangan di sana sini, untuk itu bagi para pembaca yang kebetulan menemukan hal itu kiranya berkenan memberikan taushiah kepada kami sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan pada kajian selanjutnya.

NASKAH HADITS

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: " 'Umrah -yang satu- bersama (hingga ke) 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus dosa) bagi (dosa yang telah dilakukan) diantara keduanya. Sedangkan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga ". (H.R. Muslim, no. 2403 dalam kitab al-Hajj, bab: Fadhl al-Hajj wal 'Umrah wa yaumi 'Arafah )

TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL

Hadits diatas ditakhrij (dikeluarkan) oleh :

Imam at-Turmuzi dalam kitab al-Hajj , no. 855
Imam an-Nasai dalam kitab Manaasik al-Hajj, no. 2575, 2576, 2582
Imam Ibnu Majah dalam kitab al-Manaasik, no. 2879
Imam Ahmad dalam Baaqi Musnad al-Muktsiriin, no. 7050, 9562, 9569
Imam Malik dalam kitab al-Hajj, no. 675
Imam ad-Darimi dalam kitab al-Manaasik, no. 1727
PEMBAHASAN HADITS

Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :

" 'Umrah -yang satu- bersama (hingga ke) 'umrah -yang lain-merupakan kaffarat (penghapus) bagi (dosa yang telah dilakukan) diantara keduanya"

Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Muslim, berkaitan dengan makna penggalan hadits diatas, berkata: "Disini sangat jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah keutamaan 'umrah, yaitu menghapus dosa-dosa yang terjadi antara kedua 'umrah tersebut. Penjelasan tentang dosa-dosa tersebut telah disinggung pada kitab ath-Thaharah , demikian pula penjelasan tentang bagaimana menyinkronkannya dengan hadits-hadits tentang kaffarat wudhu' terhadap dosa-dosa tersebut, kaffarat semua shalat, puasa pada hari 'Arafah dan 'Asyura' ".

Dalam kitab Tuhfah al-Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi, Pensyarahnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa disini adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (Kaba-ir ), sepertihalnya dalam sabda beliau yang berkaitan dengan keutamaan hari Jum'at, bahwa Jum'at yang satu bersama (hingga ke) Jum'at yang lainnya merupakan kaffarat (penghapus) dosa yang telah dilakukan diantara keduanya.

Berkaitan dengan hal yang sama, Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap Sunan Ibni Majah menukil perkataan Ibnu at-Tin yang menyatakan bahwa huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: diatas dapat diartikan dengan (Ma-'a/bersama); jadi, maknanya 'Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain… Atau dapat juga diartikan dengan makna huruf (Ila) itu sendiri dalam kaitannya dengan kaffarat.

Ibnu 'Abd al-Barr mengkhususkan kaffarat dalam hadits tersebut terhadap dosa-dosa kecil saja, akan tetapi menurut Syaikh as-Sindy, pendapat ini kurang tepat sebab menjauhi Kaba-ir (dosa-dosa besar) juga merupakan kaffarat baginya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga) ". (Q.S. an-Nisa'/4 : 31). Karenanya, timbul pertanyaan: dosa apa yang dapat dihapus oleh 'umrah?. Jawabannya enteng sebab orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecilnya dihapus dengan 'umrah sedangkan orang yang tidak memiliki dosa kecil atau dosa-dosa kecilnya telah dihapus melalui sebab yang lain, maka posisi 'umrah baginya disini merupakan sebuah keutamaan.

Imam az-Zarqany dalam kitabnya Syarh Muwaththa' Malik menyatakan bahwa makna huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:
diatas adalah bermakna (Ma-'a); Dalam hal ini, pengertiannya sejalan dengan firmanNya Ta'ala dalam ayat :
"Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu" (Q.S. an-Nisa/4:2)

Jadi, maknanya adalah " 'Umrah -yang satu- bersama 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus) bagi dosa yang telah dilakukan diantara keduanya ". Huruf ãÇ (Maa) dalam penggalan hadits tersebut merupakan lafazh yang bersifat umum, maka dari sisi lafazhnya bermakna penghapusan terhadap semua dosa yang terjadi diantara keduanya kecuali hal yang sudah dikhususkan oleh dalil tertentu.

Masalah : berapa kali 'umrah boleh dilakukan?
Para pendukung mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur ulama berpegang kepada hadits ini mengenai dianjurkannya melakukan 'umrah berkali-kali dalam satu tahun.

Sedangkan Imam Malik dan sebagian shahabatnya menyatakan bahwa melakukannya lebih dari satu kali adalah makruh.

Al-Qadhi, ('Iyadh-red) berkata: 'ulama yang lain berkata:" tidak boleh melakukan 'umrah lebih dari satu kali".

Masalah : Kapan waktu dibolehkan atau tidak dibolehkannya 'umrah dilakukan?

Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah bahwa sebenarnya waktu melakukan 'umrah berlaku sepanjang tahun. Jadi, shah dilakukan pada setiap waktunya kecuali bagi orang yang sedang melakukan haji dimana tidak shah 'umrahnya hingga selesai melakukan haji. Menurut ulama kami (ulama mazhab asy-Syafi'i-red) tidak makruh hukumnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji baik pada hari 'Arafah, 'Iedul Adhha, Hari Tasyriq dan seluruh waktu sepanjang tahunnya. Pendapat semacam ini dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad dan Jumhur Ulama...".

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa 'umrah tersebut makruh dilakukan pada lima hari; hari 'Arafah, hari an-Nahr (Qurban) dan hari-hari Tasyriq (tiga hari).

Abu Yusuf, shahabat Abu Hanifah berkata: "Makruh dilakukan pada empat hari; hari 'Arafah dan hari-hari Tasyriq (tiga hari)".

Masalah : Apakah 'umrah itu wajib hukumnya?

Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya 'umrah:

Mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur menyatakan hukumnya wajib. Demikian pula 'Umar, Ibnu 'Abbas, Thawus, 'Atha', Ibnu al-Musayyab, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu Sirin, asy-Sya'bi, Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari, 'Abdullah bin Syaddad, ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid dan Daud.
Imam Malik, Abu Hanifah dan Abu Tsaur menyatakan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat seperti ini dihikayatkan juga dari Imam an-Nakha'i.
Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :

" Sedangkan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga"

Menurut Imam an-Nawawi dan Syaikh as-Sindy, pendapat yang paling shahih dan masyhur adalah bahwa makna Mabrur disini; sesuatu yang tidak terkontaminasi oleh dosa. Yakni diambil dari kata al-Birr yang maknanya adalah ath-Thaa'ah (keta'atan).

Ada yang berpendapat maknanya adalah al-Maqbul (haji yang diterima).
Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah haji yang tidak dilakukan karena riya'.
Pendapat lainnya lagi; maknanya adalah haji yang tidak disudahi dengan perbuatan maksiat.
Kedua pendapat terakhir ini masuk dalam kategori makna sebelumnya.

Imam al-'Iyni berkata - mengenai makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:' Haji yang mabrur' - ; " berkata Ibnu Khalawaih: al-Mabrur artinya al-Maqbul (yang diterima). Berkata selain beliau: ' (maknanya adalah) Haji yang tidak terkontaminasi oleh sesuatu dosa. Pendapat ini didukung oleh Imam an-Nawawi..".

Imam al-Qurthubi berkata: "pendapat-pendapat seputar penafsirannya hampir mendekati maknanya satu sama lain, yaitu haji yang dilaksanakan tersebut memenuhi hukum-hukum yang berkaitan dengannya dan manakala dituntut dari seorang Mukallaf (orang yang dibebani perintah syara') agar melakukannya secara sempurna, hajinya tersebut kemudian menempati posisi tertentu".

Dalam syarahnya terhadap kitab Muwaththa Malik, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "dan haji yang mabrur" ; dapat berarti bahwa orang yang melakukan haji tersebut mengimplementasikan perbuatannya setelah itu ke jalan kebajikan (karena kata Mabrur diambil dari kata al-Birr yang artinya kebajikan-red).

Sedangkan makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: "tidak ada balasan baginya selain surga" ; menurut Imam an-Nawawi adalah bahwa balasan bagi orang yang melakukannya tidak hanya sebatas terhapusnya sebagian dosa-dosanya akan tetapi dia pasti masuk surga. Wallaahu a'lam ".

Selanjutnya, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa Rasulullah menyebutkan dan menjanjikan bahwa tidak ada balasan bagi orang yang hajinya mabrur selain surga, dan menegaskan bahwa yang selain itu (surga) bukan merupakan balasannya meskipun balasan dari 'umrah dan perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya adalah terhapusnya dosa-dosa dan kesalahan; hal itu, lantaran balasan bagi pelakunya itu hanya berupa penghapusan terhadap sebagian dosa-dosanya saja. Oleh sebab itu, hal tersebut pasti menggiringnya masuk ke dalam surga.

Syaikh as-Sindy berkata, berkaitan dengan pengecualian dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "..selain surga" : "bahwa pengecualian ini maksudnya adalah dari sisi prinsipnya saja sebab bila tidak, sebenarnya syarat masuk ke surga itu cukup dengan iman. Jadi, konsekuensinya adalah diampuninya seluruh dosa-dosanya baik dosa-dosa kecil ataupun dosa-dosa besarnya bahkan yang terdahulu dan yang akan datang".
Tanda-Tanda diterimanya haji (haji yang mabrur)

Imam an-Nawawi berkata: "Diantara tanda-tanda diterimanya adalah bahwa sepulangnya dari haji, orang tersebut menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya". Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap hadits ini.

Bahan bacaan:

Al-Mu'jam al-Mufahris Li alfaazh al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqi
Kitab Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Ibnu Katsir
Kitab Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi
Kitab Tuhfatul Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi karya Syaikh 'Abdul 'Azhim al-Mubarakfury
Kitab Syarh Sunan Ibni Majah karya Syaikh as-Sindy
Kitab al-Muntaqa Syarh Muwaththa' Malik karya Imam az-Zarqany

Senin, 06 Juli 2009

TALAQ


Silsilah Hadits-Hadits Masyhur (Yang Sering Diucapkan Dan Didengar) -2

Hadits Kedua

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ

"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah"

Sumber Hadits

Redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ibn Mâjah dari hadits 'Abdullah bin 'Umar.
Dalam redaksi Imam al-Hâkim,

مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ

"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."

Di dalam redaksi kitab Sunan ad-Daylamiy dari Mu'adz bin Jabal disebutkan,

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الطَّلاَقَ وَيُحِبُّ الْعِتَاقَ

"Sesungguhnya Allah membenci thalaq dan menyukai 'itâq (memerdekakan budak)."

Dalam redaksi yang lainnya -di dalam kitab yang sama- dari jalur Muqâtil bin Sulaiman dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya secara Marfu',

مَا أَحَلَّ اللهُ حَلاَلاً أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ النِّكَاحِ، وَلاَ أَحَلَّ حَلاَلاً أَكْرَهُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ

"Tidak ada sesuatu yang halal yang dihalalkan oleh Allah lebih dicintai-Nya dari nikah; dan tidak ada sesuatu yang halal tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."

Di dalam kitab Târîkh Ibn 'Asâkir dari jalur Ja'far bin Muhammad; Syuja' bin Asyrasy menceritakan kepada kami, dia berkata: ar-Rabî' bin Badr menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Abi Qilâbah, dari Ibn 'Abbas secara Marfu' ditulis dalam redaksi berikut,

مَا مِنْ شَيْئٍ مِمَّا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ أَكْرَهُ عِنْدَهُ مِنَ الطَّلاَقِ

"Tidak ada dari sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian yang paling dibenci di sisi-Nya selain thalaq."

Kualitas Hadits

Kualitas hadits dalam pembahasan kita di atas (no.2) adalah DLA'IF' (Lemah) dari sisi Sanad nya.

Tentang kelemahan hadits ini dapat dirujuk pada buku-buku berikut:

Sunan Abî Dâwud, jld.II, hal.342, no.2177,2178
Sunan Ibn Mâjah, jld.I, hal.650, no.2018
al-Mustadrak, karya Abu 'Abdillah al-Hâkim, jld.II, hal.196 . Lafazh redaksi al-Hâkim terdapat di dalam Sunan Abi Dâwud
as-Sunan al-Kubra, karya al-Baihaqiy, Jld.VII, hal 322
Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.143
al-Kâmil, karya Ibn 'Adiy, Jld.IV, hal.1630
al-Jâmi' al-Kabîr, karya Imam as-Suyuthiy, Jld.I, hal.690 .
Mengenai perawi bernama Muqâtil, menurut para ulama, dia lemah dalam periwayatan hadits. Untuk mengetahui tentang apa saja cacat (Jarh) yang dituduhkan kepadanya, silahkan lihat:

Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.173 dan halaman setelahnya
al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy, hal. 12
Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a yadûru 'alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya 'Abdurrahman bin 'Aly bin ad-Dîba', hal. 5
Kasyf al-Khafâ' wa Muzîl al-Ilbâs 'Ammâ Isytahara Min al-Ahâdîts 'Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûny, Jld I, hal. 29
Dla'îf al-Jâmi' ash-Shaghîr, karya Syaikh al-Albany, no. 44
Tema Hadits

Hadits tersebut sering dijadikan dalil di dalam menyatakan bahwa syari'at Islam amat membenci suatu perceraian (thalaq).

Adalah merupakan hal yang disepakati bahwa syari'at amat mencela terjadinya thalaq sebab memiliki implikasi yang negatif.

Pertanyaannya, apa landasannya?.
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa ia hadits yang Shahîh dan Muttashil (bersambung mata rantai periwayatnya hingga kepada Rasulullah).
Sebagian ulama lagi, mengatakan bahwa ia hadits yang Dla'îf (Mursal).

- والله أعلم -

(Diambil dari buku 'ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah', karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 57, hadits no. 1 dengan beberapa penambahan)

Catatan :

Menurut Muhaqqiq (peneliti) buku yang kami bahas diatas, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, kualitas hadits tersebut adalah DLA'IF (MURSAL). Hal ini berdasarkan rujukan-rujukan yang kami sebutkan diatas. Pendapat ini nampaknya juga diambil oleh Syaikh al-Albaniy dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.

Sementara di dalam fatwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` (lembaga resmi fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI), disebutkan bahwa hadits tersebut SHAHIH MUTTASHIL bukan hadits MURSAL secara Sanad dan Matan (Lihat, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` , jld.IV, Hal.438-439, no. fatwa.11005)

KEBAIKAN


PAHALA KEBAIKAN DILIPATGANDAKAN OLEH ALLAH
عن ابن عباس – رضي الله عنه – عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يريه عن ربه تبارك و تعالى قال - إن الله كتب الحسنات و السيئات ثم بين ذلك : فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة و إن هم بها فعملها كتبها الله عنده عشر حسنات إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة ، و إن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة ، وإن هم بها فعملها كتبها الله سيئة واحدة- رواه البخاري و مسلم في صحيحيهما بهذه الحروف
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau meriwayatkan dari Tuhannya, Tabaaraka wa ta’aala. Firman-Nya : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat melakukan kejahatan, tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kejahatan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan lafazh ini)

[Bukhari no. 6491, Muslim no. 131]


Pensyarah Hadits ini berkata : Ini adalah Hadits yang sangat mulia dan berharga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun belum dilaksanakan mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berniat berbuat dosa tetapi tidak jadi dikerjakan, mendapat satu pahala, dan bila ia laksanakan mendapat satu dosa. Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah tetapkan baginya sepuluh kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat besar, yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipat gandakan siksa atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kebaikan, karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan hati yang ditekadkannya.

Berdasarkan sabda ini ada yang berpendapat, seharusnya orang yang berniat berbuat dosa tetapi belum melaksanakannya dicatat sebagai satu dosa, karena keinginan melakukan sesuatu merupakan bagian dari pekerjaan hati. Ada pula yang berpendapat tidak seperti itu, sebab orang yang mengurungkan berbuat dosa dan menghapus keinginannya untuk berbuat dosa dan menggantinya dengan keinginan lain yang baik. Dengan demikian dia diberi pahala satu kebaikan. Tersebut pada Hadits lain : “ ia meninggalkan niat jeleknya itu karena takut kepada-Ku”
Hadits ini semakna dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Setiap muslim punya shadaqah”. Mereka (para sahabat) bertanya : “Sekalipun dia tidak melakukannya?” Sabda beliau : “Hendaklah dia mengurungkan niat jahatnya, maka hal itu menjadi sadaqah bagi dirinya”. (riwayat Bukhari dalam Kitab Adab)
Adapun orang yang meninggalkan niat jahatnya karena dipaksa atau tidak sanggup menjalankannya, maka tidaklah dicatat sebagai suatu kebaikan (yang mendapat pahala) dan tidak termasuk dalam pembicaraan Hadits ini.

Thabari berkata : “Hadits ini membenarkan pendapat yang mengatakan : ’Pembatalan niat seseorang dalam melakukan kebaikan atau keburukan tetap dicatat oleh malaikat, asalkan dia menyadari apa yang diniatkan itu”. Ia membantah pendapat yang beranggapan bahwa malaikat hanya mencatat pembatalan pada perbuatan-perbuatan yang zhahir atau sesuatu yang dapat didengar. Ini berarti dua malaikat yang ditugasi mengawasi manusia mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Boleh juga Allah memberikan cara kepada para malaikat itu untuk mengetahui hal itu sebagaimana Allah telah memberikan jalan kepada sebagian besar nabi-Nya dalam beberapa perkara ghaib. Allah telah berfirman berkenaan dengan Isa ketika ia berkata kepeda Bani Israil : “Aku mengabarkan kepada kamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumah-rumah kamu”. (QS. 3 : 49)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga telah mengabarkan banyak perkara ghaib. Maka dapat saja Allah memberikan kepada dua malaikat itu cara untuk mengetahui niat baik atau niat buruk seseorang lalu dia mencatatnya, bila orang tersebut telah menjadikannya sebagai tekad. Ada pula yang berpendapat malaikat mengetahuinya dari angin yang keluar dari hati seseorang.

Para ulama salaf berselisih paham tentang dzikir manakah yang lebih baik, dzikir dalam hati atau dzikir dengan lisan. Ini semua adalah pendapat Ibnu Khalaf yang dikenal dengan nama Ibnu Bathal. Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya mengatakan : Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah jadikan niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa niat semata-mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna”. Jika seseorang berniat baik lalu melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari lingkup niat menjelma kepada amal. Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan, kemudian perbuatan baiknya digandakan. Hal ini semua tergantung pada ikhlas atau tidaknya niat pada masing-masing perbuatan.

Selanjutnya pada kalimat “sampai dilipatgandakan banyak sekali” , digunakan bentuk kata nakirah (tidak terbatas) yang maknanya lebih luas daripada bentuk kata ma’rifah (terbatas). Kalimat semacam ini menunjukkan adanya pengertian pembalasan yang tidak terhingga banyaknya.

Kalimat janji Allah semacam ini dapat mencakup pernyataan : “Apabila seorang manusia mengeluarkan sedekah sebutir gandum, maka akan diberi pahala atas perbuatannya itu karena rahmat Allah. Sekiranya butiran gandum tersebut ditaburkan lalu tumbuh di tanah yang subur dan dipelihara, disiangi sesuai dengan kebutuhannya, lalu dipanen, maka akan tampak hasilnya. Kemudian hasilnya dapat ditanam lagi pada tanah yang subur lalu dipelihara seperti tanaman sebelumnya. Kemudian terus berjalan semacam itu pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Kemudian hal ini terus berlangsung sampai hari kiamat, sehingga sebutir gandum, sebutir biji sawi, atau sebatang rumput akhirnya dapat menjadi bertumpuk banyak setinggi gunung. Sekiranya sadaqah yang dikeluarkan hanya sebutir jagung karena iman, maka ia kelak akan melihat keuntungan atas sadaqahnya di waktu itu. Dan dihitung-hitung, jika dijual di pasar yang paling laris di negeri yang paling besar, tentulah barang semacam itu merupakan barang yang sangat laris. Kemudian bertambah berlipat ganda dan terus berjalan sampai hari kiamat, maka sebutir gandum tadi tumbuh sebagai benda yang besarnya sebesar dunia ini seluruhnya. Demikianlah balasan Allah atas semua amal kebaikan yang dilakukan, jika didasarkan pada niat yang ikhlas dan muncul dari hati yang ikhlas”.

Sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya berlipat ganda dalam memberi pahala kepada seseorang yang memberikan shadaqah satu dirham kepada orang fakir, lalu si fakir itu memberikannya kepada fakir lain yang lebih melarat dari dirinya, kemudian fakir lain tersebut memberikannya kepada fakir yang ketiga, dan yang ketiga memberikan kepada yang keempat, dan seterusnya. Dari kejadian seperti di atas, Allah akan memberi pahala kepada pemberi shadaqah pertama, dengan sepuluh kali. Bila fakir pertama yang memberikannya kepada fakir yang kedua, maka fakir pertama ini mendapat pahala sepuluh kali, dan pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seratus kali (sepuluh kali sepuluh). Kemudian fakir kedua memberikannya kepada fakir ketiga, maka fakir kedua mendapat pahala sepuluh kali, fakir pertama mendapat pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seribu kali. Bila fakir ketiga menshadaqahkan kapada fakir keempat, maka fakir ketiga mendapat sepuluh kali, fakir kedua mendapat pahala seratus kali, pemberi shadaqah pertama mendapat pahala sepuluh ribu kali sampai berlipat ganda sehingga tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah. Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili hamba-Nya yang muslim di hari kiamat, kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai ketinggiannya dan ada pula yang kurang nilainya, maka dengan kemurahan dan rahmat-Nya Allah akan memperhitungkan semua amal kebaikannya lebih besar daripada perbedaan nilai antara dua kebaikan. Allah berfirman : “Sungguh Kami pasti memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan”. (QS. 16 : 97)

Sebagaimana seseorang yang berada di salah satu pasar kaum muslim mengucapkan kalimat “laailaaha illallaah wahdah, laa syariikalah …” dengan suara yang tinggi, maka Allah akan mencatat perbuatannya itu dengan memberi pahala seribu kebaikan dan dihapuskan dari orang itu seribu dosanya, serta ia akan diberi sebuah rumah di surga seperti yang tersebut pada sebuah Hadits. Kami terangkan di sini hanyalah apa yang kami ketahui saja, bukan berdasarkan kadar rahmat Allah yang sebenarnya, sebab Allah itu jauh lebih agung dari apa yang dapat digambarkan oleh makhluk. Wallahu a’lam

AKHLAK NABI


Sebagian dari Akhlaq Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah Al-Qur'an, Beliau membenci apa yang dibenci Al-Qur'an dan menyenangi apa yang disenangi oleh Al-Qur'an, tidak dendam dan marah kepada seseorang kecuali jika melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, sehingga kemarahannya hanya karena Allah Ta'ala.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merupakan orang yang paling jujur ucapannya, paling memenuhi tanggungjawabnya, paling lelmbut perangainya, paling mulia pergaulannya, lebih pemalu dari perawan pingitan, rendah hati dan selalu berpikir , tidak keji dan tidak pula pengutuk, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan tapi membalasnya dengan memberi maaf dan jabat tangan, barangsiapa meminta sesuatu kebutuhan kepadanya maka tidak pernah ditolaknya, jika tidak ada maka dengan kata-kata yang halus dan tidak dengan hati kasar dan sikap keras, tidak pernah memotong pembicaraan orang lain kecuali jika bertentangan dengan kebenaran sehingga memotong pembicaraannnya dengan larangan atau berdiri, tidak menganggap bohong kepada seseorang, tidak dengki kepadanya dan tidak memintanya untuk bersumpah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjaga tetangganya dan menghormati tamunya, waktunya tidak pernah belalu tanpa beramal untuk Allah atau mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan, cinta kepada optimisme dan benci kepada pesimisme, jika ada dua pilihan maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan dosa, senang menolong orang yang membutuhkan dan membantu orang yang teraniaya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga senang kepada sahabat-sahabatnya, bermusyawarah dengan mereka, mengunjungi orang sakit, mendo'akan yang meninggal, serta menerima alasan orang yang udzur kepadanya. Baginya, orang yang kuat dan orang yang lemah mempunyai hak yang sama, beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga berbicara, jika orang menghitung pembicaraannya tentu akan dapat menghitungnya karena jelas dan pelannya. Di samping itu, beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bergurau dan tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran.

SHALAT LAIL MENGHAPUSKAN DOSA


SHALAT LAIL MENGHAPUS DOSA
عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال : قلت يا رسول الله أخبرني عن عمل يدخلني الجنة و يباعدني عن النار ؟ قال - لقد جئت تسأل عن عظيم وإنه ليسير على من يسره الله تعالى عليه : تعبد الله لا تشرك به شيئاً وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت , ثم قال : ألا أدلك على أبواب الخير ؟ الصوم جُنة والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار , وصلاة الرجل في جوف الليل ثم تلا - تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون*فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونََ - ]السجدة16-17]... ثم قال ألا أخبرك برأس الأمر وعموده وذروة سنامه ؟ - قلت : بلى , يا رسول الله قال " رأسٍ الإسلام , وعموده الصلاة وذروة سنامه الجهاد " ثم قال : ألا أخبرك بملاك ذلك كله ؟ " فقلت ك بلى يا رسول الله , فأخذ بلساني وقال - كف عليك هذا - فقلت : يا نبي الله , و إنا لمؤاخذون بما نتكلم ؟ فقال- ثكلتك أمك , وهل يكب الناس في النار على وجوههم - أو قال - على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم ؟! - رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, ia berkata : Aku berkata : “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah”. Kemudian beliau bersabda : “Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam”. Kemudian beliau membaca ayat : “Tatajaafa junuubuhum ‘an madhaaji’… hingga …ya’maluun“. Kemudian beliau bersabda: “Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?” Aku menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “Pokok amal adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”. Kemudian beliau bersabda : “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” (HR. Tirmidzi, ia berkata : “Hadits ini hasan shahih)

[Tirmidzi no. 2616]


Sabda beliau “engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala”, maksudnya bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah kemudian diberi petunjuk untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu menyembah kepada Allah tanpa sedikit pun menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Kemudian sabda beliau “mengerjakan shalat”, yaitu melaksanakannya dengan cara dan keadaan paling sempurna. Kemudian beliau menyebutkan syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti zakat, puasa dan haji.

Kemudian sabda beliau “inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai”, maksudnya adalah selain puasa Ramadhan, karena puasa yang wajib telah diterangkan sebelumnya. Jadi, maksudnya ialah banyak berpuasa sunnat. Perisai maksudnya ialah puasa itu menjadi tirai dan penjaga dirimu dari siksa neraka.

Kemudian sabda beliau “shadaqah itu menghapuskan kesalahan”. Maksud shadaqah di sini adalah zakat.

Sabda beliau “shalat seseorang di tengah malam”.

Kemudian beliau membaca ayat :
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Maka suatu jiwa tidak dapat mengetahui apa yang dirahasiakan untuk mereka, yaitu balasan yang menyejukkan mata, sebagai ganjaran dari amal yang telah mereka lakukan”.
(QS. As Sajadah 32 : 16-17)

maksudnya orang yang shalat tengah malam, dia mengorbankan kenikmatan tidurnya dan lebih mengutamakan shalat karena semata-mata mengharapkan pahala dari Tuhannya, seperti tersebut pada firman-Nya : “Maka suatu jiwa tidak dapat mengetahui apa yang dirahasiakan untuk mereka, yaitu balasan yang menyejukkan mata, sebagai ganjaran dari amal yang telah mereka lakukan”. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Allah sangat membanggakan orang-orang yang melakukan shalat malam di saat gelap dengan firman-Nya dalam sebuah Hadits Qudsi : “Lihatlah hamba-hamba-Ku ini. Mereka berdiri shalat di gelap malam saat tidak ada siapa pun melihatnya selain Aku. Aku persaksikan kepada kamu sekalian (para malaikat) sungguh Aku sediakan untuk mereka negeri kehormatan-Ku”.

Sabda beliau : “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpamakan perkara ini dengan unta jantan dan Islam dengan kepala unta, sedangkan hewan tidak akan hidup tanpa kepala.

Kemudian sabda beliau “tiang-tiangnya adalah shalat”. Tiang suatu bangunan adalah alat penyangga yang menegakkan bangunan tersebut, karena bangunan tidak akan dapat berdiri tegak tanpa tiang.

Sabdanya “puncaknya adalah jihad”, artinya jihad itu tidak tertandingi oleh amal-amal lainnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ia berkata bahwa ada seseorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu berkata :
“Tunjukkan kepadaku amal yang sepadan dengan jihad”. Sabda beliau : “Tidak aku temukan”. Kemudian sabda beliau : “Adakah engkau sanggup masuk ke dalam masjid, lalu kamu melakukan shalat Lail tanpa henti dan puasa tanpa berbuka selama seorang mujahid pergi (berperang)?” Orang itu menjawab : “Siapa yang sanggup berbuat begitu!”

Sabdanya : “maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan dia pertama kali untuk berjihad melawan orang kafir, kemudian dialihkan kepada jihad yang lebih besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu, menahan perkataan yang menyakitkan atau menimbulkan kerusakan karena sebagian besar manusia masuk neraka karena lidahnya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” Penjelasannya telah ada pada Hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia berkata baik atau diam”.

Demikian juga pada Hadits lain disebutkan :
“Barang siapa memberi jaminan kepadaku untuk menjaga apa yang ada di antara kedua bibirnya dan apa yang ada di antara kedua pahanya, maka aku jamin dia masuk surga”

siksaan dunia akherAT


Kumpulan Hadits

siksaan Dunia Akhirat

(Bagi Pemutus Silaturra him dan Penzhalim)

Mukaddimah

Ada dua hal yang seringkali terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat dan tidak banyak diketahui oleh orang padahal keduanya memiliki implikasi yang tidak ringan terhadap si pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat.

Hal pertama dilarang oleh agama karena asy-Syâri', Allah Ta'ala sendiri telah mengharamkannya atas diriNya. Ia adalah kezhaliman yang sangat dibenci dan tidak disukai oleh sang Khaliq bahkan oleh manusia sendiri karena bertentangan dengan fithrah mereka yang cenderung untuk dapat hidup di lingkungannya secara berdampingan, rukun dan damai. Fithrah yang cenderung kepada perbuatan baik dan saling menolong serta mencela perbuatan jahat dan tindakan yang merugikan orang lain.

Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia tak luput dari rasa saling membutuhkan satu sama lainnya sehingga terjadilah komunikasi dan hubungan langsung satu sama lainnya. Hal tersebut membuahkan rasa saling percaya dan ikatan yang lebih dekat lagi. Maka dalam tataran seperti inilah kemudian terjadi keterkaitan dan keterikatan dalam berbagai hal. Mereka, misalnya, saling meminjamkan barang atau harta, menggadaikan, berjual-beli dan lain sebagainya.

Manakala hal tersebut berlanjut sementara manusia memiliki sifat yang berbeda-beda serta memiliki kecenderungan untuk serakah -kecuali orang yang dirahmati olehNya- sebagaimana yang disinyalir oleh sebuah hadits shahih bahwa bila manusia itu diberikan sebuah lembah berisi emas, maka pasti dia akan meminta dua buah, dan seterusnya; maka tidak akan ada yang menghentikannya dari hal itu selain terbujur di tanah alias mati. Manakala hal itu terjadi, maka terjadilah pula tindakan yang merugikan orang lain alias perbuatan zhalim tersebut. Tak heran misalnya, terdengar berita bahwa si majikan menzhalimi pembantunya, sang pemilik perusahaan menzhalimi buruhnya, orang tua tega menzhalimi anaknya sendiri, suami menzhalimi isterinya, tetangga menzhalimi tetangganya yang lain dan sebagainya.

Perbuatan semacam ini kemudian dapat membuahkan hal kedua, yaitu pemutusan rahim alias hubungan kekeluargaan baik antara sesama tetangga, sesama komunitas masyarakat bahkan sesama hubungan darah daging sendiri padahal agama melarang hal itu dan memerintahkan agar menyambung dan memperkokohnya.

Oleh karena besarnya implikasi dan dampak dari kedua hal tersebut, maka agama tak tanggung-tanggung menggandengkan keduanya ke dalam satu paket yang para pelakunya nanti akan dikenakan siksaan yang pedih.

Bila dilihat dari sisi jenis siksaannya, hal pertama memang lebih besar siksaannya ketimbang hal kedua, karena disamping ia telah diharamkan oleh sang Khaliq sendiri terhadap diriNya, juga taubat dari hal tersebut tidak sempurna kecuali bila telah diselesaikan pula oleh si pelakunya terhadap orang yang terkaitnya dengannya. Artinya, dalam batasan dosa terhadap Allah taubat tersebut diterima bila memang taubat yang nashuh, namun bila masih terkait dengan bani Adam, maka harus diselesaikan dahulu.

Sedangkan hal yang kedua, bisa terhindari dari siksaan yang terkait dengannya bila disambung kembali bahkan dampaknya amat positif bagi pelakunya.

Namun begitu, keduanya adalah sama-sama menjerumuskan pelakunya ke dalam siksaan yang pedih, karenanya tidak ada artinya pembedaan dari sisi jenis siksaannya atau sisi lainnya bila hal yang dirasakan adalah sama, yakni "pedihnya siksaan"-Nya.

Mengingat betapa urgennya kedua permasalahan ini, maka dalam kajian hadits kali ini (naskah aslinya adalah berbahasa Arab) kami mengangkatnya dengan harapan dapat menggugah kita semua agar kembali kepada jalan yang benar dan menyadari kesalahan yang telah diperbuat, bak kata pepatah "selagi hayat masih dikandung badan".

Seperti biasa, kajian ini tak luput dari kekhilafan dan kekeliruan manusiawi, karenanya bila ada yang mendapatkannya -dan itu pasti ada- maka kami sangat mengharapkan masukannya, khususnya masukan yang membangun dan positif guna perbaikan di kemudian hari. Wamâ taufîqi illâ billâh. Wallaahu a'lam.

Naskah Hadits

Dari Abu Bakrah -radhiallaahu 'anhu-, dia berkata:Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:" Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan oleh Allah siksaannya terhadap pelakunya di dunia beserta siksaan yang disimpan (dikemudiankan/ditangguhkan) olehNya untuknya di akhirat daripada kezhaliman dan memutuskan rahim (hubungan kekeluargaan)' ". (H.R. at-Turmuziy, dia berkata :"hadits hasan").

Sekilas tentang Periwayat hadits

Beliau adalah Abu Bakrah, seorang shahabat yang agung, Namanya Nufai' bin al-Hârits, maula Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam.. Ketika terjadi pengepungan terhadap Thâif, dia mendekati suatu tempat bernama Bakrah, lalu melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Dia pun kemudian masuk Islam di tangan beliau. Dia juga memberitahukan bahwa kondisinya sebagai seorang budak, lalu beliau memerdekakannya. Dia meriwayatkan sejumlah hadits dan termasuk Faqîh para shahabat. Dia wafat di kota Bashrah pada masa kekhilafahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan.

Faedah-Faedah dan Hukum-Hukum Terkait

Substansi kezhaliman dan dalil-dalil yang mencelanya
Kezhaliman adalah kegelapan di dunia dan akhirat. Pelakunya pantas mendapatkan siksaan yang disegerakan baginya di dunia dan dia akan melihatnya sebelum meninggal dunia. Karenanya, banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan agar menjauhinya. Allah Ta'ala berfirman: "…Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya". (QS. 40/al-Mu'min:18). Allah juga berfirman:" Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim..". (QS. 14/Ibrâhim: 42). Dalam firmanNya yang lain: "Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata:'Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul' ". (QS.25/al-Furqân:27).

Asy-Syaikhân meriwayatkan dari Abu Musa radhiallaahu 'anhu bahwasanya dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah menunda/mengulur-ulur terhadap orang yang zhalim (memberikannya kesempatan-red) sehingga bila Dia menyiksanya maka dia (orang yang zhalim tersebut) tidak dapat menghindarinya (lagi) ". Kemudian beliau membacakan ayat (firmanNya): "Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras". (QS. 11/Hûd: 102).
Macam-Macamnya
Kezhaliman itu ada beberapa macam dan yang paling besar adalah syirik kepada Allah Ta'ala sebagaimana firmanNya -ketika menyinggung wasiat-wasiat Luqman kepada anaknya- : "…Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS.31/Luqmân: 13).

Diantara kezhaliman yang lain adalah:
Kezhaliman terhadap keluarga dan anak-anak; yaitu tidak mendidik mereka dengan pendidikan islam yang benar.
Kezhaliman terhadap manusia secara umum; yaitu berbuat hal yang melampaui batas dan menyakiti mereka, mengurangi hak-hak serta melecehkan kehormatan mereka.
Kezhaliman yang berupa kelalaian dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti tidak bekerja secara optimal sesuai dengan tuntutan pekerjaan atau selalu mengundur-undur kepentingan orang banyak, dan lain-lain.
Kezhaliman yang terkait dengan para pekerja dan buruh; yaitu dengan mengurangi hak-hak mereka serta membebani mereka dengan sesuatu yang tak mampu mereka lakukan.
Tentang Silaturra him dan dalilnya
Ra him merupakan masalah yang besar dalam dienullah karenanya wajib menyambungnya dan diharamkan memutuskannya.
Diantara indikasinya adalah sabda Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya Allah Ta'ala (manakala) menciptakan makhlukNya hingga Dia selesai darinya, maka tegaklah ra him sembari berkata:'inilah saat meminta perlindunganMu dari pemutusan'. Dia Ta'ala berfirman: "Ya, apakah engkau rela agar Aku sambungkan dengan orang yang menyambungnya denganmu dan Aku putus orang yang memutuskannya darimu?". Ia ( R ahim) berkata:'tentu saja, (wahai Rabb-ku-red)!'. Dia Ta'ala berfirman: "hal itu adalah untukmu". Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "maka bacalah, jika kalian mau (firmanNya) : "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan ra him (hubungan kekeluargaan) [22]. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka [23]". (QS.47/Muhammad: 22-23).
Bentuk-Bentuk silaturra him
Silaturra him dapat berupa :
Kunjungan, bertanya tentang kondisi masing-masing, memberikan spirit kepada kerabat dekat serta lemah-lembut dalam bertutur kata.
Memberikan hadiah yang pantas, saling mengucapkan selamat bila mendapatkan kebaikan, membantu orang yang berutang dan kesulitan dalam membayarnya, menawarkan diri untuk hal-hal yang positif, memenuhi hajat orang, mendoakan agar diberikan taufiq dan maghfirahNya, dan lain sebagainya.
Faedah silaturra him dan implementasinya
Silaturra him dapat memanjangkan umur, memberikan keberkahan padanya, menambah harta dan mengembangkannya, disamping ia sebagai penebus keburukan-keburukan dan pelipat-ganda kebaikan-kebaikan. Hal ini dapat diimplementasikan dengan berupaya mendapatkan keridhaan dari Sang Pencipta, Allah Ta'ala.

Imam al-Bukhâriy meriwayatkans dari Anas radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:"Barangsiapa yang ingin agar dibentangkan baginya dalam rizkinya dan ditangguhkan dalam usianya (panjang usia), maka hendaklah ia menyambung rahimnya (silaturra him)".
Bentuk siksaan bagi pemutus silaturra him
Siksaan-siksaan yang Allah timpakan kepada sebagian hambaNya terkadang berlaku di dunia, terkadang juga ditangguhkan dan berlaku di akhirat; oleh karena itu hendaklah seorang muslim berhati-hati terhadap dirinya dan tidak menghina dosa dan maksiat sekecil apapun adanya manakala tidak melihat siksaannya di dunia.
Renungan
Muslim yang sebenarnya adalah orang yang mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Jadi, dia senantiasa melaksanakan hak-hak mereka, tidak menyakiti atau menzhalimi serta tidak semena-mena terhadap mereka baik secara fisik maupun maknawi

hak suami terhadap istri


Hak Suami Atas Isteri

Allah berfirman : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. 4:1)

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya : wanita yang bagaimanakah yang paling baik ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : yang menyenangkannya (suaminya) jika ia memandangnya, taat kepadanya jika dia memerintahkan, dan dia tidak menyelisihinya dalam dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dibencinya. HR. Nasa'i.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu dia tidak datang kepadanya, kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya sampai pagi. Muttafaq 'alaih.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidak halal bagi seorang wanita untuk puasa sedang suami berada padanya kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh dia memberikan izin di rumahnya kecuali dengan seizing suaminya pula. Muttafaq 'alaihi.
Keterangan :

Kaum lelaki mempunyai hak yang agung atas kaum wanita, karena kaum lelaki memperhatikan, memelihara dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka dan sebagai balasan atas kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki yang dapat merealisasikan kebaikan bagi pasangan suami istri dan keluarga secara utuh.

Kandungan ayat dan hadits di atas :

Besarnya hak kaum lelaki atas kaum wanita.
Kewajiban kaum wanita (istri) untuk taat kepada suami dalam hal kebajikan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, dan bahwa hal tersebut adalah sebab masuk surga bagi kaum wanita.

hak istri atas suami


hak Isteri Atas Suami

Allah berfirman :
Dan bergaullah dengan mereka ( Istri-istrimu ) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak . (QS. 4:19)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Ya Allah sungguh saya menimpakan kesusahan ( dosa ) kepada orang yang menyia-nyiakan hak dua macam manusia yang lemah yaitu : anak yatim dan wanita ) HR. Nasa'i.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas, kalau kamu meluruskannya maka kamu telah mematahkannya.. Muttafaq 'alaihi.
Dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya bahwa bapaknya berkata : wahai Rasulullah ! apakah hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ? maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : kamu memberi makan kepadanya jika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian dan engakau tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkannya ( tidak berkata : semoga Allah memburukkan wajahmu ) dan tidak meninggalkannya kecuali dalam rumah. HRm Abu Daud.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ( janganlah seorang mu'min membenci wanita mu'minah, karena jika ia membenci suatu sifatnya, maka dia akan ridha yang lainnya darinya. ) HR. Muslim.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan orang-orang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istri-istrinya. HR. Tirmidzi.
Dari 'Amr bin Ahwash radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu hajji wada' : ingatlah ( saya berwasiat kepada kamu agar berbuat baik pada kaum wanita, maka terimalah wasiatku ini terhadap mereka ) dan berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena sesungguhnya mereka pada sisi kalian bagaikan tawanan, dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu. HR. Tirmidzi.
Keterangan singkat :

Sebagaimana kaum lelaki mempunyai hak atas istri-istri mereka, demikian pula kaum wanita mempunyai hak atas suami-suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak di antara mereka.

Kesimpulan :

Istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.
Wajib berbuat baik kepada kaum wanita.
Bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar selalu bersabar terhadap wanita dan berlemah-lembut kepadanya.
Bahwa wanita pada suaminya bagaikan tawanan yang lemah, oleh karenanya dia harus dikasihani, dibimbing, dilindungi dan diberikan hak-haknya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebankan dosa kepada mereka yang menyia-nyiakan hak wanita yang berada di bawah tanggungannya.
Bahwa orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang terbaik bagi istri-istrinya.

hakikat malu


Hakikat Sifat Malu

Dari Abi Mas'ud al-Badri radhiallâhu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red) adalah: 'jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan' ". (H.R.Bukhari)

Catatan: Mushannif menyebutkan bahwa nash hadits seperti diatas adalah riwayat Bukhari, namun persisnya adalah sebagai berikut (tanpa kata al-Badri radhiallâhu 'anhu dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seharusnya dalam nash di shahih Bukhari adalah an-Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ):

Takhrij hadits secara global

Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ad-Daruquthni, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, ath-Thabrani dan lain-lain.

Makna Hadits secara global

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam) yang terus menerus didengar dari generasi ke generasi adalah "bila engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".

Penjelasan Tambahan

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam ) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red)" diatas mengisyaratkan bahwa ucapan ini ma'tsur (merupakan atsar) dari para nabi terdahulu, diwarisi dan selalu diperbincangkan oleh orang-orang dari abad ke abad. Ini artinya, bahwa kenabian terdahulu memang telah mengenal ucapan ini dan masyhur di kalangan manusia hingga sampai kepada orang pertama dari umat ini. Statement semacam ini didukung oleh sebagian riwayat hadits, yang berbunyi: "manusia-manusia terdahulu tidak mengenal ucapan kenabian pertama yang lain kecuali ucapan ini". (dikeluarkan oleh Humaid bin Zanjawaih, dan selainnya).

Makna sabda beliau : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan"

Mengenai maknanya terdapat dua pendapat:

Pertama: kalimat tersebut bukan mengandung pengertian boleh berbuat sesuka hati, akan tetapi bermakna adz-Dzamm (celaan) dan an-Nahyu (larangan). Dalam mengimplementasikan pengertian diatas, terdapat dua cara :

Cara pertama: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: at-Tahdid wal wa'iid (ultimatum dan ancaman keras). Jadi maksudnya: jika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang engkau inginkan sebab sesungguhnya Allah akan mengganjar perbuatanmu tersebut, seperti dalam firman Allah: "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.,s. 41/Fushshilat:40). Dan firmanNya: "'Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Q.,.39/az-Zumar:15). Dan seperti makna hadits yang hanya ditautsiq (didukung kualitas sanad dan matannya) oleh Ibnu Hibban: "Barangsiapa yang menjual khamar (arak) maka hendaklah dia memotong-motong babi (baik untuk dijual atau dimakan)". Maksudnya : barangsiapa yang menghalalkan penjualan khamar/arak maka hendaklah terlebih dulu menghalalkan penjualan babi sebab kedua-duanya sama-sama diharamkan. Jadi disini ada perintah namun pengertiannya adalah larangan. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain; pendapat semacam ini adalah pilihan sekelompok ulama, diantaranya: Abul 'Abbas, Tsa'lab.

Cara kedua: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: al-Khabar (pemberitaan). Jadi maksudnya: barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu, dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan. Sebab sesungguhnya yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk adalah sifat malu; orang yang tidak memiliki sifat ini, maka dia akan tenggelam ke dalam setiap perbuatan keji dan munkar dan orang yang seperti ini hanya bisa tercegah dari melakukannya bila dia memiliki rasa malu. Sepadan dengan makna ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih: "barang siapa yang berdusta kepadaku maka hendaklah dia menyediakan tempat duduknya di neraka". Lafazh hadits ini berupa amr (perintah) namun maknanya adalah al-Khabar (pemberitaan) yakni bahwa orang yang berdusta terhadap beliau maka dia sudah menyediakan tempat duduknya di neraka. Pendapat ini adalah pilihan Abu 'Ubaid, al-Qaasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dan selain mereka. Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ahmad yang mengindikasikan pendapat seperti ini juga.

Kedua: kalimat tersebut mengandung pengertian ; perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan sesuai dengan makna lafazh tersebut secara zhahirnya. Jadi artinya: apabila apa yang ingin engkau lakukan termasuk perbuatan yang tidak perlu merasa malu untuk melakukannya baik dari Allah maupun manusia karena ia merupakan perbuatan keta'atan/kebajikan atau akhlaq yang baik dan etika yang dianggap baik; maka ketika itu perbuatlah apa yang ingin engkau lakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, diantaranya Abu Ishaq al-Marwazi asy-Syafi'i, dihikayatkan pendapat sepertinya dari Imam Ahmad, terdapat juga dalam sebagian manuskript ringkasan kitab "masaail Abi Daud", begitu juga seperti yang dihikayatkan oleh al-Khallal dalam kitabnya "al-Adab". Diantaranya perkataan sebagian Salaf ketika mereka ditanyai tentang definisi al-Muruuah : "bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang engkau malu melakukannya secara terang-terangan (sama malunya) di waktu engkau dalam kesendirian". Ungkapan ini sama dengan makna hadits "dosa adalah apa yang terbetik dalam hatimu sedangkan engkau takut orang lain mengetahuinya" (penjelasan tentang hadits ini telah kami tampilkan pada pembahasan yang lalu). Ada beberapa hadits yang senada dengan makna penjelasan diatas yang dipaparkan oleh Mushannif, diantaranya hadits dari Usamah bin Syuraik yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Shahih Ibni Hibban": dari Usamah bin Syuraik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "sesuatu yang Allah benci darimu (untuk dilakukan), maka janganlah engkau lakukan juga bila engkau sedang sendirian".

Klasifikasi sifat malu, kedudukan dan keutamaannya

Klasifikasinya dan kedudukannya

Sifat malu ada dua macam:

Pertama , sifat malu bawaan yang tidak didapat melalui proses ; ini merupakan akhlaq yang paling mulia yang Allah karuniakan kepada hambaNya, oleh karena itulah dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dikatakan: "sifat malu tidak membawa selain kebaikan" sebab ia akan mencegah orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan yang buruk-buruk dan hina serta mendorongnya untuk menggunakan akhlaq yang mulia. Sifat ini merupakan bagian dari iman bila implikasinya terhadap pemiliknya demikian. Al-Jarrah bin 'Abdullah al-Hikami, salah seorang pahlawan penunggang kuda dari Ahli Syam, berkata: "aku tinggalkan dosa-dosa karena malu, selama empat puluh tahun; ternyata aku dapati kemudian sifat wara' ".

Kedua, sifat malu yang didapat melalui proses ma'rifatullah (mengenal Allah), keagunganNya, kedekatanNya dengan hamba-hambaNya, pengawasanNya terhadap perbuatan mereka serta ilmuNya terhadap apa saja yang tersembunyi di hati manusia. Ini merupakan bagian keimanan yang paling tinggi bahkan merupakan tingkatan ihsan paling tinggi, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang laki-laki: "berlaku malu lah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang keluargamu yang paling shalih".

Keutamaannya

Diantara keutamaan sifat malu adalah:

Sifat malu adalah sifat yang dicintai oleh Allah ; sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dari hadits al-Asyajj al-'Ashri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Sesungguhnya engkau memiliki dua sifat yang dicintai oleh Allah". Aku bertanya kepada beliau: 'apa itu?'. Beliau bersabda :"sifat lemah lembut (al-Hilm) dan sifat malu". Aku bertanya lagi: 'sifat yang sudah lama (melekat padaku) atau yang baru?'. Beliau menjawab dengan sabdanya: "bahkan yang sudah lama". Aku berkata (pada diriku): 'alhamdulillah Yang telah menganugerahkan kepadaku dua sifat yang dicintai oleh Allah'. Begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh seorang shahabat, Salman al-Farisi: "Sesungguhnya bila Allah menginginkan kehancuran/kebinasaan bagi seorang hambaNya, maka Dia akan mencabut dari dirinya sifat malu, dan bila sudah dicabut sifat tersebut dari dirinya maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia amat dimurkai dan murka, dan bila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut dari dirinya sifat amanah lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia dicap sebagai pengkhianat dan orang yang dikhianati, dan bila dia sudah menjadi pengkhianat dan orang yang dikhianati maka akan dicabut dari dirinya sifat rahmah (sifat belas kasih) lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia memiliki sikap keras dan berhati kasar, dan apabila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut sebagian iman dari tengkuknya, dan bila sudah demikian maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisinya yang telah menjadi syaithan yang dilaknat dan suka melaknat".
Sifat malu merupakan bagian dari iman ; sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Ibnu 'Umar radhiallâhu 'anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lewat di depan seorang laki-laki yang mencerca saudaranya yang memiliki sifat malu, dia (orang tersebut) berkata: "sesungguhnya engkau ini amat pemalu", seakan dia mengatakan (ungkapan ini berasal dari perawi hadits-red);"..ia (sifat malu tersebut) telah membahayakan dirimu". Lantas kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "biarkanlah dia! Karena sesungguhnya sifat malu itu adalah sebagian dari iman". (H.R.Bukhari, Muslim,…). Dan dalam hadits yang lain dikatakan: "sifat malu adalah cabang dari iman". (H.R. Bukhari, Muslim,…).
Sifat malu hanya membawa kebaikan ; sebagaimana dalam hadits 'Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sifat malu tidak membawa selain kebaikan". (H.R.Bukhari dan Muslim).
Karakteristik sifat malu dan implikasinya

Karakteristiknya

Hal ini seperti digambarkan dalam hadits Ibnu Mas'ud :" Malu kepada Allah adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang disadari/ditangkapnya, (menjaga) perut dan apa yang dikandungnya, mengingat mati dan musibah (yang akan menimpa); barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dia meninggalkan gemerlap dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah berlaku malu kepada Allah". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi secara marfu').

Implikasinya

Sifat malu kepada Allah melahirkan tindakan untuk selalu memonitor semua nikmatNya dan melihat keterbatasan dan ketimpangan-ketimpangan dalam mensyukurinya. Bila seorang hamba telah dicabut sifat malu dari dirinya baik sifat malu bawaan atau pun yang didapat melalui proses maka dia tidak lagi memiliki filter untuk melakukan perbuatan yang jelek-jelek dan akhlaq yang rendah dan hina; lantas kemudian jadilah dia seakan-akan tidak memiliki iman sama sekali.

Seperti yang diungkapkan oleh 'Imran bin Hushain radhiallâhu 'anhu bahwa sifat malu yang dipuji dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah akhlaq yang memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek, sedangkan kelemahan dan ketidakmampuan yang berimbas kepada keterbatasan dalam melakukan hak-hak Allah dan hak hamba-hambaNya maka hal ini tidaklah dinamakan sifat malu tersebut akan tetapi hal itu adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan semata.

Intisari Hadits

Diantara ungkapan yang populer sejak kenabian pertama hingga dari abad ke abad adalah : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".
Sifat malu ada dua macam: sifat bawaan dan sifat yang didapat setelah melalui proses.
Sifat malu merupakan bagian atau cabang dari cabang-cabang iman.
Orang yang tidak memiliki sifat malu sama sekali maka dia tidak akan memiliki filter diri dan akan selalu melakukan prilaku yang jelek


ANJURAN MEMILIKI RASA MALU
عن أبي مسعود عقبة بن عمرو الأنصاري البدري – رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إن ما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى , إذا لم تستح فاصنع ما شئت " رواه البخاري
Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari)

[Bukhari no. 3483]


Sabdanya “kalimat kenabian yang pertama”, maksudnya ialah bahwa rasa malu selalu terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syari’at para nabi sejak dahulu.

Sabda beliau : “berbuatlah sekehendakmu”, mengandung dua pengertian, yaitu : pertama, berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah, sebagaimana sabda beliau : “Lakukanlah sesuka kamu”
Yang juga berarti ancaman, sebab kepada mereka telah diajarkan apa yang harus ditinggalkan. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barang siapa yang menjual khamr maka hendaklah dia memotong-motong daging babi”.

Tidak berarti bahwa beliau membenarkan melakukan hal semacam itu.

Pengertian kedua ialah hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu melakukannya, seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Malu itu sebagian dari Iman”.

Maksud malu di sini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mendorongnya berbuat kebajikan. Demikian juga bila malu dapat mendorong seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya pada seseorang. Wallaahu a’lam.